PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat
tiongkok juga dikenal dengan istilah Filsafat Cina atau ada juga yang
menyebutnya dengan Filsafat Tionghoa. Kata Cina lebih diketahui orang banyak,
karena kata Tiongkok hanya ada di penggunaan bahasa Indonesia, yang
terdeskripsi kepada cina. Sedangkan Tionghoa lebih kepada orang (Cina).
Peradaban tiongkok telah kita ketahui sangat maju. Itu terbukti dari banyaknya
masyarakat Cina yang memiliki banyak ahli ilmu astronomi (perbintangan), keahlian
bertani dan berperang, dan sudah mengenal tulisan (tulisan gambar) sejak dulu.
Selain itu juga kemajuan dalam pembuatan benda-benda seni yang terbuat dari
keramik misalnya, dan juga perkembangan teknologinya yang sangat berkembang
dari dulu hingga sekarang.
Filsafat
Tiongkok juga memiliki karakteristik tersendiri seperti halnya Filsafat Barat
(yunani). Filsafat Cina dibagi atas empat periode besar: Jaman klasik
(Confusianisme, taoisme, ying-yang, moisme, dislektisi dan mazhab hukum), Jaman
Neo-Taoisme dan Buddhisme, Jaman Neo-Konfusianisme dan Jaman Modern. Filsafat
Cina berkembang pada masa pemerintahan Dinasti Chou. Pada masa itu lahir tiga
ahli filsafat Cina, yakni Lao Tze, Kong Fu Tze, dan Meng Tze.
Bnayak aspek yang melatarbelakangi pemikiran filsafat tiongkok.
Seperti aspek-aspek geografis, ekonomi, sikap terhadap alam, sisitem kekerabatan
dan lainnya. Dalam tradisi Tiongkok, jenis pekerjaan yang mendapat tempat
terhormat adalah menuntut ilmu (belajar) dan mengolah tanah (bertani). Jenis
pekerjaan ini akan mempengaruhi sikap mereka terhadap alam dan pandangan
hidupnya. Para petani mempunyai sifat khusus “kesederhanaan”, dan mereka selalu
menerima dan mematuhi perintah. Merekapun tidak pernah mementingkan diri
sendiri. Sifat-sifat yang demikian inilah yang menjelma dalam sikap hidupnya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pada latar belakang yang telah dijelaskan maka dapat dibuat perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa
saja periodesasi dalam filsafat Tiongkok?
2. Apa
saja ciri-ciri/karakteristik dari filsafat Tiongkok?
3. Apa
perbedaan filsafat Tiongkok dan yunani/barat?
4. Bagaimana
kepercayaan masyarakat Cina/tiongkok dahulu?
A.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui
periodesasi dalam filsafat Tiongkok.
2. Mengetahui
ciri-ciri/karakteristik dari filsafat Tiongkok.
3. Mengetahui
perbedaan filsafat Tiongkok dan yunani/barat.
4. Mengetahui
kepercayaan masyarakat Cina/tiongkok dahulu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periodisasi Filsafat Cina
Pada perkembangan melewati rentan
waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina, disini Filsafat Cina dapat
dikategorikan ke dalam empat periode besar :
1.
Jaman Klasik (600-200 S.M)
Menurut
tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat:seratus aliran yang
semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep
yang dipentingkan secara umum, misalnya tao
(jalan), te (keutamaan atau seni
hidup), yen (perikemanusiaan), i (keadilan), t’ien (surga) dan yin-yang
(harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip
pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:
a)
Konfusianisme
Konfusius
(bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, (guru dari suku Kung) hidup antara 551 dan
497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan)
adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao
luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang
dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (yen), yang merupakan model untuk semua
orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda.[1]
Confusianisme
dielopori oleh K’ung Fu Tzu (551-479 SM), lahir di Shantung. Ia mengatakan,
bahwa hendaknya raja tetap raja, hamba tetap hamba, ayah tetap ayah, anak tetap
anak. Sistem kekerabatan harus didasarkan pada syian , yaitu suatu perasaan keterikatan terhadap orang-orang yang
menurunkannya. Aspek inilah yang menjadikan budaya Tiongkok tetap diwariskan.[2]
Menurut
ajaran Kong Fu Tze. Tao adalah sesuatu
kekuatan yang mengatur segala-galanya dalam alam semesta ini, sehingga tercapai
keselarasan. Masyarakat manusia adalah bagian dari alam semesta ini, maka tata
cara hidup manusia diatur oleh Tao. Oleh karena itu, sesorang harus
menyesuaikan diri dengan Tao, agar dalam kehidupan bermasyarakat terdapat
keselarasan dan keseimbangan. Penganut aliran in percaya bahwa segala bencana
yang terjadi di atas permukaan bumi ini karena manusia menyalahi aturan Tao.
Selama 24 abad, ajaran Kong Fu Tze dianggap oleh bangsa Cina sebagai pegangan
hidup, baik bagi rakyat maupun bagi rajanya. Bahkan sampai sekarang ajaran Kong
Fu Tze sangat besar pengaruhnya terhadapa cara berfikir dan sikap hidup
sebagian besar orang Cina.[3]
b) Taoisme
Taoisme
diajarkan oleh Lao Tse (guru tua) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan
Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah
yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif,
substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse
lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak
metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao.
Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran neti, na-itu: tidak
begitu) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut docta ignorantia, “ketidaktahuan yang
berilmu”).[4]
Semua
orang yang mengikuti Tao harus melepas semua usaha. Tujuan tertinggi adalah
meloloskan diri dari khayalan keinginana dengan renungan secara
gaib.Pemikirannya, orang hendaknya memberikan kasih sayangnya tidak hanya
sebatas pada para anggota saja, tetapi harus pada seluruh anggota keluarga yang
lain. Peperangan dan upacara ritual dengan pengeluaran biaya yang tinggi yang
akan merugikan rakyat merupakan suatu yang bertentangan dengan dasar kecintaan
manusia sehingga harus dicela. Kalau kita sayang kepada orang lain, orang lain
akan sayang kepada kita, dan kita tidak perlu takut akan kejahatan orang lain.[5]
Ajaran
Lao Tze tercantum dalam bukunya yang berjudul Tao Te Ching. Lao Tze percaya
bahwa ada semangat keadilan dan kesejahteraan yang kekal dan abadi, yaitu
bernama Tao. Taoisme mengajarkan orag supaya menerima nasib. Menurut ajaran
ini, suka dan duka, bahagia dan bencana adalah sama saja. Oleh karena itu,
orang yang menganut Taoisme dapat memikul suatu penderitaan dengan hati yang
tidak bergoncang meski bagaimanapun.[6]Semua
perbuatan manusia harus sesuai dengan Tao itu, selalu menurut saja, bahkan tidak
berbuat (wu-wei). Dalam perkembangan
selanjutnya Taoisme berubah sifatnya menjadi magi belaka. Nama-nama yang
terpenting adalah Chuang Tze dan Lio Tze.[7]
c)
Yin-Yang
“Yin”
dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif,
prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan
untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api,
dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam
kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan
derajat Yang tertentu.
d) Moisme
Aliran
Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang
terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan
bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis,
langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna
dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak
sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang
tidak berguna.[8]
Mo
Tze mengajarkan “cinta kepada sesama manusia yang universal” sebagai dasar
filsafatnya (chien ai). “Universal love” ini tak hanya menguntungkan bagi yang
dicintai tetapi yang mencintai, jadi timbal-balik. Inilah dasar dari
“utilitarisme” Mo Tze dan perbedaannya yang terbesar dengan filsafat Confucius.[9]
e) Ming Chia/Dialektisi (kira-kira 370
SM)
Ming
Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah
dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”,
dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka
penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian
bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu
dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti eksistensi,
relativitas, kausalitas, ruang dan waktu.[10]
Meng
Tze (372-280) adalah seorang murid Kong Fu Tze yang melanjutkan ajaran gurunya.
Dalam mengajarkan ajarannya, Meng Tze bertentangan dengan Kong Fu Tze. Meng Tze
tidak memberikan pelajaran kepada kaum bangsawan, tetapi memberikan pengetahuan
kepada rakyat jelata. Menurutnya rakyatlah yang terpenting dalam suatu negara
begitu pula apabila raja bertindak sewenang-wenang trhadapa rakyat, maka tugas
para mentri untuk memperingatkannya. Apabila raja mengabakan
peringatan-peringatan itu para mentri wajib menurunkan raja dari tahtanya.[11]Kung-su-Lung,
Hui Ship. Perhatian besar untuk teori-teori pengetahuan, dengan kegemaran untuk
membuat paradoks-paradoks, seperti terdapat pada Zeno.[12]
f) Fa Chia (mazhab hukum)
Fa
Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah
hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang
soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik
tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau
pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras
sekali. Tokoh yang terkenal adalah Han Fei Tzu dan Li Sse.[13]
Buku-buku
yang terkenal adalah Chang Tze dan Han Fei Tze (kira-kira 395 SM), hukumlah
yang merupakan asas persatuan suatu negara, seluruh kekuasaan harus dipusatkan
di tangan raja, rakyat harus tetap miskin dan lemah, ketakutan akan pidana
membawa orang ke kebajikan, oarang-orang jahat harus menguasai orang-orang
baik, diktator yang amoral.[14]
Tentang keenam sekolah klasik
tersebut, kadang-kadang dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan
dalam masyarakat Cina. Berturut-turut: (1) kaum ilmuwan, (2) rahib-rahib, (3)
okultisme (dari ahli-ahli magi), (4) kasta ksatria, (5) para pendebat, dan (6)
ahli-ahli politik.
2.
Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama
dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao
sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi
di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”.[15]
Budhisme
memasuki Tiongkok pada permulaan abad ke-1. Pengaruhnya besar sampai pada akhir
abad ke-10. Beberapa nama yang terkenal adalah Chi-Tsang (549-632 M), Chih-K’ai
(538-597 M), Shen Hsiu (600-700 M) dan lain-lain.[16]
3.
Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari
tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting.
Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir
Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran
material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali
dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang
dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
4.
Jaman Modern (setelah 1900)
Sejarah
modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh
pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat
diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah
pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh
Barat ini mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi.
Terutama sejak 1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse
Tung.
Inilah
sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang
termasuk kepada filsafat Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme,
“filsafat Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern
dan masa kini.[17]
B.
Ciri-ciri Filsafat Cina
Pertama-tama karena masalah politik
dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan,
maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan
masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung
mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia.
Para ahli sejarah pemikiran
mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama,
dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak
dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat
dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai
persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina
bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan
melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat
dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar
filosof Cina.
Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina
etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika
dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di
lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang
menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral
dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti
etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada
persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan
pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum
filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak
dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian
besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa
dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum
mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin
bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata
dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap
demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan
tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
Keenam, agama dipandang tidak
terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat
mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan
pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan terhadap
kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi
dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari
hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan
mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
Kedelapan, dilihat dari sudut
pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina
seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian
mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu.
Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat
Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai
sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan
integratitas pribadi yang kokoh.[18]
C.
Perbedaan
antara Filsafat Timur (Tiongkok) dan Filsafat Barat
a) Filsafat
Timur (Tiongkok)
1. Etika merupakan pusatnya.
2. Tingkah laku dan sikap manusia
terhadap dunia sekitar merupakan kesatuan yang selaras dan seimbang, sebagai
mikro kosmos dan makro kosmos.Manusia harus menyesuaikan diri dengan kodrat
alam, sehingga harus harmoni hubungan manusia dengan dunia .
b) Filsafat
Barat
1. Rasio merupakan pusatnya
2. Ontologi, yaitu ilmu tentang sebab
sebab yang pertama menduduki tempat sentral.
3. Manusia menempatkan diri berhadapan
dengan objek yang dipelajari, sehinga manusia berpikir dengan pertanyaan,
seperti apa sebab terjadi peristiwa itu?. Bagaimana peristiwa itu?. Dari mana
datangnya?, dll.[19]Filsafat
Barat menanyakan hubungan sebab-akibat, mencari mengapa dan bagaimana objek
yang diselidiki secara objektif.[20]
D.
Kepercayaan Masyarakat Cina/tionghoa
Dahulu.
Mengakui
adanya Tuhan Surga (Tien), Allah (Ti), dan Shang Ti, Tuhan Yang Mahatinggi yang mengatasi segala roh-roh (Shen). Magi (shu-shu) dan astrologi. Arwah-arwah prang mati akan hidup terus
asal diberikan korban-korban.[21]
Sebelum
Kung Fu Tze dan Meng Tze mengajarkan ajarannya, bangsa Cina percaya terhadap
para dewa. Mereka memuja dan menganggap dewa-dewa memiliki kekuatan alam. Menurut
kepercayaan bangsa Cina, dunia digambarkan sebagai segi empat dan diatasnya
ditutupi oleh langit yang trdiri dari 9 lapisan. Ditengah-tengah dunia yang
trbentuk segi empat teretak T’ien-hsia, sebuah daerah yang didiami oleh bangsa
Cina. Daerah T’ien-hsia merupakan daerah yang didiami oleh bangsa-bangsa yang
biadab. Diluar daerah bangsa-bangsa biadab terdapat daerah kosong dan menjadi
tempat tinggal hantu-hantu dan Dewi Pa, yang menguasai musim kemarau.
Dewa-dewa
yang menerima pemujaan tinggi adalah:
o
Feng-pa (dewa angin)
o
Lei-Shih (dewa angin taufan dan
digambarkan sebagai naga besar),
o
T’ai-Shah atau dewa yang menguasai bukit
suci,
o
Ho-Po, tiap-tiap tahun diberi sesajen
yang dijalankan oleh pendeta-pendeta perempuan dengan mempersembahkan gadis
jelita sebagai istrinya. Gadis itu harus tercantik di seluruh cina dan sesudah
dirias, ia disuruh terjun ke dalam arus sungai Hwang-Ho yang deras itu.[22]
Pengetahuan
mereka masih bercorak kudus (sacral, sacred), “ pemberian” dari Thian (langit)
dan bukan obyektif-empirik, hasil ikhtiar manusia secara sistematik. Cara
berfikir pada umumnya masih berdasarkan firasat dan renungan, belum kritik
analitik. [23]Akar
atau sumber alam pikiran rakyat Tiongkok adalah Taoisme dan Confuscianisme.
Taoisme adalah pandangan hidup yang menitik-beratkan pada hal-hal yang sifatnya
naturalistik yang berada dalam diri manusia. Selain itu, Conficianisme adalah
suatu pandangan hidup yang menitikberatkan pada organisasi sosial dan
menekankan kepada tanggunga jawab manusia terhadap masyarakat. [24]
Di
negeri Cina pendidikan itu terikat dengan ajaran Khong Hu Chu, dengan
kepercayaan bahwa ada lima indera dan lima pengaruh bintang serta lima warna,
begitu pula ada lima keutamaan, yaitu keadilan, kedisiplinan, hikmah, kejujuran
dan kebaikan.[25]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
-
Periodisasi
Filsafat Cina dapat dikategorikan ke dalam empat periode:
1.
Jaman Klasik (600-200 S.M)
a)
Konfusianisme; kaum ilmuwan
b) Taoisme; rahib-rahib
c)
Yin-Yang; okultisme (dari
ahli-ahli magi),
d) Moisme; kasta
ksatria
e) Ming Chia/Dialektisi (kira-kira 370
SM); para pendebat
f) Fa Chia (mazhab hukum);
ahli-ahli politik
2.
Jaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
3.
Jaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)
4.
Jaman Modern (setelah 1900)
-
Ciri-ciri
Filsafat Cina: Pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya
tidak dapat dipisahkan; bertolak dari semacam ‘humanisme’, pemikiran filosof
Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu; persoalan
yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan, mengajarkan
sikap optimistis dan demokratis; agama dipandang tidak terlalu penting
dibanding kebijakan berfilsafat; penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu
tampak dalam filsafat hukum dan politik, dalam memandang sesuatu tidak
berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme
nilai-nilai; membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan
mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum
memecahkan dan melakukan sesuatu.
-
Perbedaan antara Filsafat Timur (Tiongkok) dan
Filsafat Barat:
Filsafat Timur (Tiongkok); Etika
merupakan pusatnya, tingkah laku dan sikap manusia terhadap dunia sekitar
merupakan kesatuan yang selaras dan seimbang, sebagai mikro kosmos dan makro
kosmos. Manusia harus menyesuaikan diri dengan kodrat alam, sehingga harus
harmoni hubungan manusia dengan dunia.
Filsafat Barat; Rasio merupakan pusatnya, ontologi, yaitu ilmu tentang sebab
sebab yang pertama menduduki tempat sentral, menanyakan hubungan sebab-akibat,
mencari mengapa dan bagaimana objek yang diselidiki secara objektif.
-
Kepercayaan
Masyarakat Cina/tionghoa Dahulu: Sebelum Kung Fu Tze dan
Meng Tze mengajarkan ajarannya, bangsa Cina percaya terhadap para dewa. Mereka
memuja dan menganggap dewa-dewa memiliki kekuatan alam. Dewa-dewa yang menerima
pemujaan tinggi adalah:
o
Feng-pa (dewa angin)
o
Lei-Shih (dewa angin taufan dan
digambarkan sebagai naga besar),
o
T’ai-Shah atau dewa yang menguasai bukit
suci,
o
Ho-Po, tiap-tiap tahun diberi sesajen
yang dijalankan oleh pendeta-pendeta perempuan dengan mempersembahkan gadis
jelita sebagai istrinya.
DAFTAR PUSTAKA
Archadi. Asmoro, Filsafat
Umum, Jakarta: Rajawali Pers
Badrika.
I Wayan, Sejarah Nasional dan Umum,
Jakarta: Erlangga, 2004
Poeradisastra.
SI, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan
Peradaban Modern, Jakarta: Guna
Aksara, 1986
Rahman
Umdirah. Abdur, Metode Al-Qur’an dalam
Pendidikan, Surabaya: Mutiara Ilmu
Salam.
Burhanuddin, Sejarah Filsafat Ilmu dan
Teknologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2000
http://labibsyauqi.blogspot.com/2009/06/filsafat-cina-sejarah-singkat-tokoh-dan.html
http://filsafat-unhi.blogspot.com/2012/12/filsafat-timur-tiongkok.html
[1]
http://labibsyauqi.blogspot.com/2009/06/filsafat-cina-sejarah-singkat-tokoh-dan.html
[2]
Fil um 95
[3]
I Wayan Badrika., Sejarah Nasional dan Umum, Jakarta:
Erlangga, 2004, hal. 182.
[4]
http://labibsyauqi.blogspot.com
[5]
Fi um 96
[6]
I Wayan Badrika, Loc. Cit.
[7]
Burhanuddin Salam., Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi,
Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal. 70.
[8]
http://labibsyauqi.blogspot.com
[9]
Burhanuddin Salam, Loc. Cit.
[10]
http://labibsyauqi.blogspot.com
[11]
I Wayan Badrika, Loc. Cit.
[12]
Burhanuddin Salam, Op. Cit, hal. 71
[13]
http://labibsyauqi.blogspot.com
[14]
Burhanuddin Salam, Loc. Cit.
[15]
http://labibsyauqi.blogspot.com
[16]
Burhanuddin Salam, Op. Cit, hal. 72
[17]http://labibsyauqi.blogspot.com
[18]
Ibid.,
[19]
http://filsafat-unhi.blogspot.com/2012/12/filsafat-timur-tiongkok.html
[20]
Burhanuddin Salam., Op. Cit, hal. 68
[21]
Ibid.,
hal. 69
[22] I Wayan Badrika, Op.Cit, hal.183
[23]
SI Poeradisastra., Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban
Modern, Jakarta: Guna Aksara, 1986,
hal. 5
[24]
Fil um
[25]
Abdur Rahman Umdirah, Metode Al-Qur’an dalam Pendidikan,
Surabaya: Mutiara Ilmu., hal. 16
0 komentar:
Post a Comment