PENDAHULUAN
Dalam
membahas persoalan yang berkaitan dengan ilmu kalam, pastinya terdapat
perbedaan perspektif antara pemikiran satu dengan pemikiran lainnya.
Sebagaimana kata “kalam” yang berarti
“pembicaraan”. Pembicaraan dalam hal ini yaitu, tentang masalah-masalah ketuhanan
dengan menggunakan argumentasi, logika dan filsafat serta memperbandingkan
masalah yang menyangkut pokok-pokok agama dan yang berhubungan dengannya. Ilmu
kalam ataupun filsafat islam tidak akan muncul tanpa adanya perbedaan-perbedaan
paradigma (pandangan) antara satu paham dengan paham lainnya. Aliran mu’tazilah
dalam hal ini sangat berpengaruh terhadap lahirnya Ilmu Kalam, yang bisa
dikatakan sebagai pencetus paham yang memberikan daya yang kuat terhadap akal
(rasional).
Karena
adanya perbedaan pendapat inilah sehingga muncul berbagai aliran-aliran dan
juga metode-metode berfikir yang menjadi ciri dari masing-masing aliran
tersebut. Secara umum, metode/kerangka berfikir dalam ilmu kalam dapat
dikelompokkan lebih dari dua yaitu, metode berfikir liberal dan metode berfikir
tradisionil, yang masing-masing mempunyai prinsip yang berbeda. Free will atau predestination (liberal), menekankan aspek yang besar terhadap logika
(akal). Sedangkan fatalism
(tradisionil), tidak begitu besar menekankan pada aspek akal. Kedua corak ini
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pada latar belakang yang telah dijelaskan maka dapat dibuat perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa
sajakah metode berfikir dalam ilmu kalam?
2. Apa
sajakah pengatagorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam ?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui
kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam.
3. Mengetahui
pengatagorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam
BAB II
PEMBAHASAN
Mengkaji
aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya untuk memahami kerangka
berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Perbedaan kesimpulan satu dengan
kesimpulan lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang
bersifat natural.[1]
Mengenai
sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, ada dua pendapat diantaranya, yaitu:
1. Ad-Dahlawi;
Tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu
perbedaan pendapat. Penekanan serupapun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia
mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatarbelakangi
adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang
sebagai figur pembuat keputusan.
2. Umar
Sulaiman Asy-Syaqar; Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat.
Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu:
a. persoalan
keyakinan (aqa’id),
b. persoalan
syariah, dan
c. persoalan ekonomi.[2]
Perbedaan
metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Metode berfikir
secara rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut ini:
1. Hanya
terikat dengan dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebutkan dalam
Al-Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i
(teks yang tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfinya).
2. Memberikan
kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya
yang kuat kepada akal.[3]
3. Fokus
dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih dominannya peran akal sehingga
harus lebih ekstra keras berupaya untuk menanamkan suatu ajaran atau konsep
kepada orang lain.
Jadi
dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran
ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yan lebih bersifat spekulatif dan
melampaui batas-batas kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa.[4]
Adapun
metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Terikat
pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti
harfinya).
2. Tidak
memberikan kebebasan pada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
3. Memberikan
daya yang kecil kepada akal.[5]
Ada
tiga berometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran,
yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta
keadilan atau kehendak mutlak Tuhan. Ciri teologi rasional adalah:
1. Akal
mempunyai kedudukan yang tinggi, karena dalam memahami wahyu, aliran ini
cenderung menggambar arti majazi,
2. Manusia
bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mapu berdiri sendiri
3. Keadilan
Tuhan menurut pendapat ini, terlatak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang
mengatur perjalanan alam ini.[6]
4. Mengatakan
bahwa Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala.
5. Mengatakan
sabda Tuhan atau kalam bukanlah
bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. [7]
Adapun
ciri teologi tradisional:
1. Akal
mempunyai kedudukan yang rendah. Karena dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti
lafzhi atau literal.
2. Manusia
tidak bebas bergerak dan berkehendak.
3. Kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukanlah sunatullah. Namun benar-benar
menurut kehendak mutlak Tuhan.[8]
4. Teologi
ini menganggap Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat
nanti. Faham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat tajassum atau
antropomorphisme, sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani
manusia.
5. Mengatakan
bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.[9]
Teologi
liberal dengan keadaannya banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan jiwa
dan pemikiran kaum terpelajar. Sebaliknya teologi tradisionil, dengan teguhnya
berpegang pada arti harfi dari teks
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ditambah dengan kurangnya ia menggunakan logika,
kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan terpelajar.
Teologi
liberal, selanjutnya dengan pembahasanya yang bersifat filosofis, sukar dapat
ditangkap oleh golongan awam. Tetapi teologi tradisionil, dengan uraiannya yang
sederhana, mudah dapat diterima oleh kaum awam.[10]
Aliran
teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional
adalah Mu’tazilah. Oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang
bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut
memiliki metode berfikir tradisional adalah Asy’ariyyah.
Disamping
pengatagorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengatagorian
akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam.
1.
Aliran Antroposentris
Aliran anroposentris menganggap bahwa
hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan
erat dengan masyarakat kosmos. Baik yang natural mayupun yang supranatural
dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam
diri merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsur-unsur
natural yang jahat. Dengan demikian manusia harus mampu menghapus kepribadian
kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Orang yang tergolong
dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap
keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang semua hasrat dan
keinginannya. Sementara ketakwaan lebih diorientasaikan kepada praktek-praktek
pertapaan dan konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun
kepribadiannya kedalam realita impersonalnya.
Anshari
menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka
yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat
dinamis karena menganggap realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan
impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya
itu berupa potensi yan menjadikannyamampu membedakan mana yang baik dan mana
yamg jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah
(surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memeroleh kerugian
melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak
tanpa campur tangan realitas transenden.aliran teologi yang termasuk dalam
kategori ini adalah Qadariah, Mu’tazilah
dan Syi’ah.
2.
Teolog Teosentris
Aliran teosentris menganggap bahwa
hakikat transenden bersifat suprakosmos, personal dan ketuhanan. Tuhan adalah
pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Ia dengan segala kekuasaan-Nya-
mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada
masyarakat kosmos. Amnusai adalah makhluk ciptaan-Nya sehingga harus berkarya
hanya untuk-Nya. Didalam kondisi yang serba relatif, diri manusia adalah migran
abadi yang aka segera kembali kepada Tuhan. Untuk itu manusia harus mampu
meningkatkan keselarasan denagn realitas tertinggi dan transenden melalui
ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang
layak, sesuai dengan naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan
menjadi sosok yang ideal, yang mampu memancarkan atribut-atribut ketuhanan
dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan
menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.
Manusia
teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan
mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan.
Baginya segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan . ia tidak
mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Denagn cara
itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan bisa
saja memasukkan manusia jahat kedalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu
pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat dalam situasi yang serba rugi yang
terus-menerus (neraka).
Aliran
teosentris menganggap daya menjadi
potensi perbuatan baik atau jahat manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan.
Oleh sebab itu, ada kalanya manusia mampu melaksanakan sesuatu perbuatan
tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya ia mampu melaksanakan suatu
perbuatan apapun tatkala ia ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantara
daya, Tuhan selalu campur tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak ada daya
sama sekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam
kategori ini adalah Jabbariyah.
3.
Aliran
Konvergensi atau Sintesis
Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra
sekaligus intrakosmos personal dan impersonal. Lahut dan nashut, makhluk
dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan
sifat-sifat lainnya yang dikotomik. Ibnu Arabi menamakan sifat-sifat yang
semacam ini dengan insijam al-azali
(prestabilished harmny). Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjahatau cermin asma dan sifat-sifat realitas mutlak itu. Bahkan, seluruh alam
(kosmos), termasuk manusia, juga merupakan cermin asma dan sifat-Nya yang
beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai pencipta pada
dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali.
Aliran konvergensi memandang bahwa
pada dasarnya, sagala sesuatu iyu berada dalam ambigu (serba ganda), baik
secara substansial maupun formal. Sesuatu substansial, sesuatu mempunyai
nilai-nilai batini, huwiyah dan
eternal (qadim) karena merupakan
gambaran Al-Haq. Dari sisi ini,
sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan dan
relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law
(hukum alam) yang berlaku.
Aliran ini berkeyakinana bahwa
hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antar daya yang transendental
(Tuhan) –dalam bentuk kebijaksanaan-- dan daya temporal (manusia) dalam bentuk
teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam proses
peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental yang memproses
suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia tidak memperoleh
pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada
dirinya, sementara ia sendiri telah berusaha melakukannya, maka pada dasarnya
kerja sama harmonis antara daya transendental dan daya temporal.
Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan,
sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu.
Kebahagiaan, bagi para penganut
aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat pendulum agar selalu
tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi di tengah-tengah antara ekstrimitas.
Dilihat dari sisi ni, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap, atau lebih luas
lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan makhluk adalah sekutu
Tuhannya. Ini karena, baik manusia atau makhluk merupakan suatu bagian yang
tidak terpisahkan sebagaiman keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta
sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya, kemerdekaan kehendak manusia yang profan selalu
berdampingan determinisme transendental
Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat
dimasukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.
4.
Aliran
Nihilis
Aliran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah
ilusi. Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai
variasi Tuhan kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme
dalam suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan
diri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang
terburuk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang
merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.[11]
Semua aliran teologi dalam Islam,
baik Asy’ariyah, Maturidiyah apalagi Mu’tazilah sama mempergunakan akal dalam
menyelesailkan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat Islam.
Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat
kekuasaan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai
daya yang lemah.
Semua aliran juga berpegang kepada
wahyu. Dalah hal ini, perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah
perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis.
Perbedaan interpretasi inilah yang sebenarnya menimbulkan aliran-aliran yang
berlainan itu. Hal ini juga tidak obahnya sebagai hal yang trdapat dalah bidang hukum Islam atau Fiqih.
Disana juga, perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-mazhab seperti
yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan
mazhab Hambali.[12]
1)
BAB III
PENUTUP
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Perbedaan
metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional:
-
Metode berfikir secara rasional memiliki
prinsip-prinsip: hanya terikat dengan dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas
disebutkan dalam Al-Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i ; memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan
berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
-
Metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip:
terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti
lain selain dari arti harfinya); tidak memberikan kebebasan pada manusia dalam
berkehendak dan berbuat, serta memberikan daya yang kecil kepada akal.
Disamping
pengatagorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengatagorian
akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam, yaitu:
1.
Aliran Antroposentris; Aliran teologi
yang termasuk adalah Qadariah, Mu’tazilah
dan Syi’ah.
2.
Teolog Teosentris; Aliran teologi yang
tergolong dalam kategori ini adalah
Jabbariyah.
3.
Aliran
Konvergensi atau Sintesis; Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke kategori ini
adalah Asy’ariyah.
4.
Aliran
Nihilis
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution,
Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah, Analisa Perbandingan,UI Press, Jakarta, 1996.
Razak,
Abdul. dan Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Cet.
III, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007.
http://adji-anginkilat.blogspot.com/2010/10/rasional-dan-tradisional-dalm.html?m=1
Nice ..
ReplyDeleteVisit : http://bauk0077.blogspot.com
ijin kopas yah, buat bahan diskusi kuliah :D
ReplyDelete