Labels

Find me on facebook

Follow me on twitter

Home » » Studi Tokoh Pendidikan: Al-Ghazali

Studi Tokoh Pendidikan: Al-Ghazali



BAB I
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Al-Ghazali
            Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad at Thusi Al- Ghazali yang dilahirkan pada 450 H/ 1058 M. Beliau dilahirkan di kota di Khurasan, Persia yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia Islam. Ayahnya adalah seorang pemintal wol yang buta dan miskin, namun sangat memperhatikan masalah pendidikan anaknya.
            Sejak kecil Imam Ghazali dikenal sebagai anak yang cinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa berbagai cobaan dan rintangan. Latar belakang pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Qur’an pada ayahnya sendiri dan belajar ilmu agama pada seorang ustadz setempat, Ahmad bin Muhammad Razkafi.[1]

            Beliau menamatkan studi dasarnya di Thus dan Jurjan, lalu melanjutkan pendidikan di Naisabur (Nisappur), berguru pada seorang pemuka agama yang terkenal dengan sebutan Imamul Haramain, yakni al- Juwaini. Kepadanya al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, mazhab fiqh, retorika, logika, tasawuf, dan filsafat.
            Ketika al- Juwaini wafat, al- Ghazali merasakan kepedihan yang amat mendalam. Beliau pun meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar. Disana Imam Ghazali mulai dikenal mula-mula oleh Perdana Menteri Saljuk, dan kemudian  menjadi tersohor dan diperlakukan penuh kehormatan oleh setiap orang di Mu’askar, karena beliau sangat unggul dan tak terpatahkan argumentasinya dalam bidang keilmuan.
            Pada tahun 484 H/ 1091 M, beliau diangkat menjadi dosen di Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usianya yang ke-34 beliau diangkat menjadi rektor.
            Setelah 4 tahun menjabat sebagai rektor, beliau meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar dan memulai hidup jauh dari lingkungan manusia. Ini dikarenakan krisis rohani yang melandanya, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Selama dua tahun beliau berzuhud, menghabiskan waktunya dengan berkhalwat, ibadah dan i’tikaf di sebuah mesjid di Damaskus. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan taqarrubnya ke Baitul Maqdis. Dari sini, tergerak hatinya untuk mengerjakan ibadah haji.
            Selama 10 tahun melanglang buana antara Syam, Baitul Maqdis dan Hijaz, akhirnya pada tahun 499 H/ 1106 M Imam Ghazali kembali mengajar di Universitas Nidhamiyah atas desakan Fakhrul Muluk. Buku Pertama yang disusunnya setelah kembali ke universitas adalah Al-Murqidz min Al- Dhalal.
            Tidak lama setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun 500 H/ 1107 M, Imam Ghazali kembali ke kampung halamannya, Thus. Beliau menghabiskan hari-harinya untuk membaca Al-Qur’an dan Hadits serta mengajar. Beliau berpulang ke Hadhirat Allah pada tanggal 18 Desember 1111 M.[2]
            Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Beliau merupakan sosok intelektual  multidimensi dengan penguasaan ilmu multidisiplin. Abdurrahman Badawi menyebutkan karya Al-Ghazali mencapai 457 judul buku yang meliputi  berbagai ilmu pengetahuan. Diantaranya dalam bidang fiqh dan ushul fiqh: Al-Wajiz fi al-Furu’, Al-Mankhul fi ‘ilm al-Ushul; bidang tafsir: Jawahir Al-Qur’an, Yaqut al-Ta’wil fi Tasir al-Tanzil; bidang akidah: al-Iqtishad fi al-‘Itiqad; bidang tasawuf: Ihya ‘Ulumuddin, dan masih banyak lagi karya lainnya. [3]



B.     Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Islam
1.      Pengertian dan Tujuan Pendidikan
      Busyairi Madjidi mengungkapkan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan perubahan yang progressive pada tingkah laku manusia.
      Al-ghazali menitikberatkan pendidikan pada perilaku manusia yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga di dalam melakukan suatu proses diperlukan sesuatu yang dapat dijadikan mata pelajaran. Hal ini didasarkan pada batin manusia yang memiliki unsur yang harus diperbaiki secara keseluruhan, yakni: kekuatan ilmu, kekuatan ghadhab (kemarahan), kekuatan syahwat (keinginan), dan kekuatan keadilan. Dengan terintegrasiya keempat unsur tersebut dalam diri manusia, maka diharapkan dapat melahirkan keindahan watak manusia.  [4]
      Abidin Ibnu Rusn merumuskan pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiaannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.[5]
      Menurut Al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan.  Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia kecuali melalui pengajaran.
            Menurut al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi dua: tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.
1.      Tujuan jangka panjang
            Tujuan pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan Pencipta alam. Disamping harus melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, manusia juga harus mengkaji ilmu-ilmu farlu ‘ain.[6]
            Tujuan dalam pendidikan Islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islami yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdsarkan ajaran Islam secara bertahap. Maka tujuan jangka panjang pendidikan Islam sebagai idealitas yang harus diwujudkan, menurut al-Ghazali adalah membentuk setiap individu peserta didik untuk menjadi insan kamil dan berakhlak mulia agar setiap individu tersebut mampu mengenal kapasitas dirinya sebagai makhluk, sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada Allah.
            Al-Ghazali sangat menghargai kehidupan akhirat dan dunia sekaligus. Ruang lingkup pendidikan yang diharapkan menurut al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia dan kehidupan akhirat semata-mata. Akan tetapi mencakup kebahagian dunia dan akhirat.[7]
2.      Tujuan jangka pendek
            Menurut al-Ghazali, tujuan jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya.[8] Tujuan jangka pendek yang dimaksudkan adalah mempersiapkan peserta didik supaya mampu melaksanakan tugas-tugas mulia di dunia sehingga mampu mengenyam kebahagiaan dalam kehidupannya di dunia. Al-Ghazali menempatkan tujuan ini sebagai tujuan sekunder yang harus direalisasikan. Karena, beliau berpendapat bahwa apapun yang ada di dunia inibersifat sementara. Tujuan yang lebih tinggi yaitu mencapai kebahagiaan di akhirat.[9]
            Jadi, tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali dapat dirumuskan, yaitu:
1)      Mendekatkan diri kepada Allah, dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2)      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3)      Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4)      Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5)      Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi.[10]
    Tujuan pendidikan merupakan target yang ingin dicapai suatu proses pendidikan. Secara eksplisit Al-Ghazali menempatkan dua hal penting sebagai orientasi pendidikan, pertama mencapai kesempurnaan manusia untuk secara kualitatif mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kebahagian akhirat merupakan sesuatu yang esensi bagi manusia, karena memiliki nilai unversal, abadi dan  dan lebih hakiki.[11]
    Menurut pandangan Al-Ghazali, ilmu adalah amal yang paling utama, baik yang bersifat fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Pentingnya menuntut ilmu yang bersifat fardhu kifayah karena memiliki keistimewaan dan kebaikan serta berkaitan dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat tertentu. Namun Al-Ghazali lebih menekankan pada ilmu yang bersifat fardhu ‘ain karena merupakan jalan untuk mencapai kebahagian di akhirat yang abadi. Dengan kata lain, pangkal kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu.
2.      Kurikulum
      Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di suatu lembaga pendidikan.[12]
      Kurikulum yang disusun oleh al-Ghazali sesuai dengan pendapatnya mengenai tujuan pendidikan, yakni: mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Ghazali, mendekatkan diri kepada Allah merupakan tolak ukur kesempurnaan manusia, dan untuk kesana ada jembatan yang disebut ilmu pengetahuan.[13] Dari segi kekhususannya al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi ilmu syar’iyyah dan ilmu ghair syar’iyyah. Lebih lanjut belaiu menjelaskan sebagai berikut:
            Ilmu syr’iyyah dibagi menjadi empat macam:
1.      Ilmu Ushul (ilmu pokok) diantaranya kitabullah, sunnah, ijma dan atsar sahabat.
2.      Ilmu Furu’ (diantaranya ilmu fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
3.      Ilmu Muqaddimah (ilmu pengantar) yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk mempelajari ilmu-ilmu ushul, seperti ilmu lughah (bahasa) dan ilmu nahwu (gramatikal).
4.      Ilmu-ilmu Pelengkap, seperti yang berkaitan dengan Al-Qur’an, misalnya ilmu makharijul huruf wa alfazh dan qira’at al-Qur’an.
            Ilmu ghair syar’iyyah dibagi menjadi:
a.       Ilmu-ilmu terpuji (mahmudah), yaitu ilmu yang dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan dan pergaulan umat manusia yang meliputi: pertanian, perternakan, pembangunan, tata pemerintahan, pertukangan besi dan lain sebagainya.
b.      Ilmu yang diperbolehkan (mubahat) yaitu ilmu kebudayaan, seperti: sejarah, puisi-puisi yang tidak mengandung unsur yang berarti dan tidak merugikan.
c.       Ilmu-ilmu tercela (mazmumah), yaitu ilmu pengetahuan yang merugikan pemilik maupun orang lain, seperti ilmu hitam/sihir.[14]
      Menurut Al-Ghazali kurikulum pendidikan harus disusun sesuai dengan pertumbuhan dan dan perkembangan psikis murid. Ini dikarenakan tingkat pemahaman, daya tangkap, dan daya ingat terhadap ilmu pengetahuan, kemampuan menjalankan tugas hidupnya, berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Pelajaran harus disampaikan secara bertahap, dengan memperhatikan teori, hukum dan periodesasi perkembangan anak.[15]
      Pentahapan dalam kurikulum yang dirumuskan Al-Ghazali ini sesuai dengan proses pendidikan anak yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits.
      Jika dijabarkan, perkembangan usia anak berdasarkan didaktis Rasulullah adalah sebagai berikut:
1)      Usia 00 – 06 tahun, adalah masa asuhan orang tua. Pendidikan pada usia ini bersifat informal, anak dibiasakan agar melakukan amalan- amalan yang baik dengan memberikan contoh atau teladan. Dengan kata lain, masa ini adalah masa pendidikan secara dressur (pembiasaan).
2)      Usia 06 – 09 tahun, adalah masa dimulainya pendidikan anak secara formal. Pada masa ini anak telah mampu menerima pengertian dari apa yang telah dibiasakan, anak juga mampu menerima ganjaran dan hukuman.
3)      Usia 09 – 13 tahun, adalah masa pendidikan kesusilaan dan latihan kemandirian. Sebagai kelanjutan dari pembiasaan terhadap yang baik dan pemberian pengertian tentang apa yang dibiasakan, anak pada usia ini telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang manfaat dan yang sia-sia, mana yang pantas dikerjakan dan mana yang perlu dihindari. Pada tahap selanjutnya anak melaksanakan amalan-amalan baik tidak karena terpaksa, tetapi karena ia mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu bermanfa’at bagi dirinya atau sebaliknya.
4)      Usia 13 – 16 tahun, adalah masa evaluasi terhadap pendidikan yang telah berjalan. Selama tiga tahun diadakan evaluasi dan jika ditemukan kekurangan dalam pribadi anak maka anak perlu diberi sangsi. Secara psikis, usia ini adalah masa remaja pertama. Inilah masa transisi dari kanak- kanak memasuki masa remaja. Kegoncangan jiwa akan muncul karena terjadi pertumbuhan cepat di segala bagian tubuh. Dengan memberikan konsep Al-Ghazali di atas, kita akan menenangkan jiwa anak.
5)      Usia anak 16 tahun dan seterusnya, adalah pendidikan kedewasaan. Menurut Islam, anak usia ini telah dianggap dewasa dan segala yang dilakukan sudah mempunyai nilai tersendiri di hadapan  Allah. Pendidikan pada periode kelima ini, karena anak telah mengalami kedewasaan nafsu seksnya, yang banyak membutuhkan penjagaan agar tidak terjadi ekses-ekses seksual yang merugikan, maka orang tua wajib menikahkannya. Perhatian orang tua terhadap anak dalam usia selanjutnya adalah tugas kemanusiaan dan bukan tugas kebutuhan. Artinya, kalau anak tidak shalih, orang tua sudah tidak lagi dituntut dihadapan Allah.[16]
      Adapun periodesasi berdasarkan psikologis dalam kaitannya dengan kurikulum pendidikan yang dikemukakan Al-Ghazali adalah materi keilmuaan yang disampaikan kepada murid secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, meyakini dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahua tanpa memerlukan dalil.
3.      Metode Pengajaran
      Pentahapan pada kurikulum pendidikan diatas melahirkan metodik khusus pendidikan menurut Al-Ghazali, dan tampak bahwa ia menekankan kepada pendidikan akhlak.
1)      Metodik khusus pendidikan agama
Dasar kurikulum pendidikan agama menurut Al-Ghazali adalah Al-Qur’an. Pada prinsipnya metode ini dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. Pendidikan agama pada kenyataannya lebih sulit dibanding dengan pendidikan lainnya, karena pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan lebih menitikberatkan pada pembentukan keribadian murid.
2)      Metodik khusus pendidikan akhlak
Akhlak menurut Al-Ghazali adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang kemudian lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Pendidikan apapun, menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia. Guru harus memiih metode pendidikan yang sesuai dengan usia dan tabia’t anak, daya tangkap, dan daya tolaknya, sejalan dengan situasi kepribadian. Untuk mengadakan perubahan akhlak anak yang tercela adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan sebaliknya.[17]
4.      Pendidik dan Anak Didik
            Al-Ghazali mempergunakan istilah pendidikan dengan berbagai kata Al-Mu’allim (guru), al-Mudarris (pengajar) dan al-Walid (orang tua). Menurut al-Ghazali, guru (pendidik) adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan menyucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliknya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya.[18]
            Menurut Al-Ghazali, pendidik (guru) dalam pengertian akademik ialah seorang yang menyampaikan sesuatu kepada orang lain atau seseorang yang menyertai sesuatu institusi  untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada para pelajarnya.[19]
            Berkaitan mengenai tugas dan tanggung jawab guru profesional, Al-Ghazali menyebutkan beberapa hal berikut:
a)      Guru ialah orang tua kedua di depan murid
b)      Guru sebagai pewaris ilmu nabi
c)      Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
d)     Guru sebagai motivator bagi murid
e)      Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid
f)       Guru sebagai teladan bagi murid
            Al-Ghazali terhadap peserta didik (murid) mempergunakan istilah, seperti al-Shoby (kanak-kanak), al-Mu’allim (pelajar), dan Thalabul al-‘Ilm (penuntut ilmu pengetahuan). Dengan demikian, yang dimaksud dengan peserta didik adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani.[20]
            Lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa peserta didik adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (islam). Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid memiliki etika dan tugas yang sangat banyak, yang dapat disusun dalam tujuh bagian, yaitu:
1.      Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2.      Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu.
3.      Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru, bahkan ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.      Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5.      Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat mengetahui hakikatnya.
6.      Mencurahkan perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7.      Hendaklah tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan mengantarkannya kepada Allah SWT.[21]




DAFTAR PUSTAKA

            Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet.III, 2003.
            Khan, Shafique Ali, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
            Hermawan, A. Heris, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementrian Agama, 2012.
            Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
            Sholeh, Asrorun Ni’am, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: ELSAS Jakarta, cet.VI, 2008..
            Zainuddin, M. dkk (ed.), Pendidikan Islam, Malang: UIN, 2009.

            http://dinmuridin.blogspot.com/2013/01/pemikiran-alghazali-dalam-pendidikan.html


[1] M.Zainuddin dkk (ed.), Pendidikan Islam, Malang: UIN, 2009. Hal: 162
[2] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Hal: 9-13.
[3] Asrorun Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: ELSAS Jakarta, cet.VI, 2008. Hal: 43.
[4] M.Zainuddin dkk (ed.), Pendidikan Islam. Hal: 166.
[5] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Hal: 89
[6] Ibid., Hal.37.
[7] Hermawan, A. Heris, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementrian Agama, 2012. Hal. 350.
[8]Ibid., Hal. 59.
[9] Hermawan, A. Heris, Filsafat Pendidikan Islam, Hal. 349.
[10] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Hal: 60.
[11] Asrorun Ni’am Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam. Hal: 79.
[12] M.Zainuddin dkk (ed.), Pendidikan Islam. Hal: 168.
[13] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Hal. 89.
[14] Hermawan, A. Heris, Filsafat Pendidikan Islam, Hal. 354.
[15] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Hal: 90.
[16] Ibid, Hal: 91-96
[17] Ibid, Hal: 99-103.
[18] Hermawan, A. Heris, Filsafat Pendidikan Islam, Hal. 351.
[19] M.Zainuddin dkk (ed.), Pendidikan Islam. Hal:176.
[20] Hermawan, A. Heris, Filsafat Pendidikan Islam, Hal. 352.
[21] http://dinmuridin.blogspot.com/2013/01/pemikiran-alghazali-dalam-pendidikan.html

0 komentar:

Post a Comment